halaman

aqidah

TABARRUK

            Tabarruk artinya memohon berkah, dan berkah adalah tetap dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidak akan terwujud kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu, yaitu Allah ta’ala semata, sesuai dengan salah satu sifat-Nya ‘Tabaraka’ yaitu yang banyak barakah-Nya.[1]
Adapun  mahluk, ia tidak akan mampu untuk mengekalkan dan menambahnya. Maka meminta berkah dari tempat-tempat tertentu, barang-baranag yang dikeramatkan dan orang-orang shalih, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena perbuatan ini bisa termasuk syirik bila ada keyakinan bahwa tempat, barang dan orang tersebut mampu memberikan berkah, atau perbuatan ini termasuk sarana untuk menuju kesyirikan bila ada keyakinan bahwa dengan menziarahi, mengusap, dan menciumi tempat, barang atau orang tersebut merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk).
Adapun tabarruk yang dilakukan oleh para sahabat dengan rambut, keringat dan ludah Rasulullah SAW. Adalah bagian kekhususan yang dimiliki Rasulullah semasa hidup beliau dan saat beliau berada di tengah-tengah mereka; dengan dalil bahwa para sahabat tidak bertabarruk dengan bekas kamar, barang yang pernah dipakainya dan tempat yang pernah disinggahinya serta kuburannya setelah wafat. Mereka juga tidak bertabarruk kepadaorang-orang shalih mereka seperti Abu Bakar, Umar Bin Khatab dan yang lainnya, baik semasa hidup mereka apalagi sepeninggalnya.
Selain itu, tidak seorang pun dari ulama salaf yang bertabarruk dengan mengusap dan menciumi tempat yang pernah diinjak dan dibuat shalat Rasulullah SAW. Maka bagaimana bisa menjadikan hujah (alasan) untuk bertabarruk dengan shalat, mengusap atau menciumi sebuah tempat yang katanya si fulan yang wali (bukan seorang Rasul Allah)  pernah shalat atau singgah di tempat itu. Dan para ulama’ telah sepakat bahwa mengusap dan mencium sesuatu untuk bertabarruk bukanlah termasuk syariat atau ajaran Islam, karena tidak adanya dalil yang memerintahkan seperti itu.[2]     `          
Allah Ta’ala berfirman: “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) mengaggap al Lata dan al Uzza,dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka. uatu pembagian yang tidak adil. (QS. Qn Najm; 19-23)
            Al Lata, al Uzza dan Manah adalah nama-nama berhala yang disembah dan dipuja oleh orang-orang Arab jahiliyyah dan diyakini  sebagai anak-anak perempuan Allah. Nama-nama berhala tadi diambil dari dari nama-nama Allah (Allata bentuk  muannats /perempuan dari Allah, Al Uzza dari kata Al Azis (maha perkasa), Al Manah dari Al Manan yang berarti Maha Pemberi). Lalu Allah membantah perkataan mereka, bahwa nama-nama itu hanyalah sesuatu yang diada-adakan oleh mereka dan nenek moyangnya. . Dan Allah mencela perbuatan dzalim mereka dengan memilih untuk diri mereka jenis yang baik dan memberikan untuk Allah jenis yang buruk (yang tidak mereka sukai).
            Dalam ayat ini Allah menyangkal perbuatan orang-orang musyrikin yang tidak rasional. Mereka menyembah berhala tersebut yang tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak suatu madharat Tindakan mereka itu hanya berdasarkan sangkaan-sangkaan dan hawa nafsu belaka, sama sekali tidak berdasarkan pada tuntunan para Rasul yang mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak memalingkan sedikitpun dari urusan ibadah kepada selain Allah.
            Mereka meminta berkah kepada Al Lata, Al Uzza dan Manah bukan semata-mata karena berhala itu batu. Akan tetapi mereka meyakini bahwa di dalam berhala-berhala itu terdapat para wali dan anak-anak Allah yang bisa mendatangkan berkah. Mereka memohon berkah kepadanya berdasarkan aqidah jahiliyyah mereka.
             Kesesuaian ayat dengan pembahasan adalah para penyembah berhala itu berkeyakinan akan mendapatkan berkah dengan memujanya,berdoa, meminta pertolongan dan bersandar kepadanya untuk meraih apa yang diinginkan darinya serta berangan-angan akan mendapatkan berkah dan syafaatnya dan yang lainnya. Meminta berkah kepada kuburan orang-orang shalih seperti Al lata, kepada pohon-pohoin seperti Al Uzza dan Manat adalah inti perbuatan (peribadatan) kaum musyrikin terhadap berhala-berhala mereka. Maka barangsiapa melakukan seperti itu terhadap kuburan,batu, atau pohon, maka ia telah meniru para penyembah berhala-berhala ini dalam kesyirikan yang telah mereka lakukan.[3]
            Dari Abu Waqid Al Laitsiy menuturkan: Bahwa para sahabat yang baru masuk Islam meminta kepada Rasulullah saw untuk dibuatkan “Dzat Anwat” sebagaimana yang dimiliki oleh orang-orang musyrik yaitu mereka mendatangi dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon itu. Maka Rasulullah saw bersabda: “Allahu Akbar, Itulah tradisi (orang-orang sebelum kamu), dan demi Allah yang jiwakun berada di tanganNya, yang kalian katakan seperti yang dikatakan Bani Israil kepada Musa: “Buatkan untuk kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai sesembahan” Musa menjawab: “Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh.” Pasti kalian akan mengikuti tradisi-tradisi orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi & dinyatakan shahih).
            Kemiripan perkataan sahabat tadi dengan perkataan Bani Israil adalah keduanya meminta untuk dibuatkan sesuatu untuk dipertuhankan dan disembah selain Allah. Walaupun lafadznya berbeda tapi subtansinya sama.
            Hadits di atas mengajarkan kepada kita untuk selalu waspada terhadap perkara syirik. Karena banyak orang yang menganggap baik suatu perkara dengan sangkaan bahwa itu termasuk ibadah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, padahal hal itu menjauhkan dia dari rahmat Allah dan mendekatkan kepada kemurkaan-Nya.
            Banyak orang yang terjerumus seperti mereka disebabkan terlalu fanatik kepada ulama’, ahli ibadah, atau penghuni kubur dan memberikan bentuk ibadah kepada mereka, dan yang lebih lagi mereka tidak merasa berdosa, padahal itu adalah dosa yang yang tidak terampuni. Di samping itu ibadah seperti ini mendapat dukungan para pemburu dunia dan popularitas serta orang-orang yang bodoh untuk membumikan kebatilan dan memerangi kebenaran dan tauhid.
            Maka, bagi kaum muslimin untuk memperhatikan betul masalah ini, dan bagi para ulama' supaya menjelaskan masalah ini dengan jelas dan tegas kepada orang-orang yang meminta berkah kepada ornag yang masih hidup atau yang sudah mati, pohon, batu, benda pusaka,dan yang sejenisnya, dengan sangkaan bahwa ini termasuk ajaran Islam.  



[1] Tarjamah kitabut Tauhid, Syaikh Shalih Bin Fauzan Al Fauzan, Juz III/ 154
[2] Ibid, hlm. 154
[3] Fathul Majid, Syaikh Abdur Rahman Bin Hasan Alusy Syaikh, hlm: 163.